Pengertian Kekerasan
Dalam masyarakat diusahakan agar
konflik yang terjadi tidak berakhir dengan kekerasan. Oleh karena itu
diperlukan adanya suatu prasyarat, yaitu sebagai berikut.
1.
Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik
harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.
2.
Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya
mungkin dapat dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling
bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
3.
Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik
harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu yang telah disepakati bersama.
Aturan tersebut pada saatnya nanti akan menjamin keberlangsungan hidup
kelompok-kelompok yang bertikai tersebut.
Apabila prasyarat di atas tidak
dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, maka besar kemungkinan konflik
akan berubah menjadi kekerasan. Secara umum, kekerasan dapat didefinisikan
sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau
hilangnya nyawa seseorang atau dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain. Sementara itu, secara sosiologis, kekerasan dapat terjadi di saat
individu atau kelompok yang melakukan interaksi sosial mengabaikan norma dan
nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat dalam mencapai tujuan
masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial ini akan terjadi
tindakan-tindakan tidak rasional yang akan menimbulkan kerugian di pihak lain,
namun dapat menguntungkan diri sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto,
kekerasan (violence) diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa
terhadap orang atau benda. Sedangkan kekerasan sosial adalah kekerasan yang
dilakukan terhadap orang dan barang, oleh karena orang dan barang tersebut
termasuk dalam kategori sosial tertentu.
Bentuk-Bentuk Kekerasan
Dalam kehidupan nyata di masyarakat,
kita dapat menjumpai berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota
masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain. Misalnya
pembunuhan, penganiayaan, intimidasi, pemukulan, fitnah, pemerkosaan, dan lain-lain.
Dari berbagai bentuk kekerasan itu sebenarnya dapat digolongkan ke dalam dua
bentuk, yaitu kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung.
1.
Kekerasan langsung (direct violent)
adalah suatu Bentuk kekerasan yang
dilakukan secara langsung terhadap pihakpihak yang ingin dicederai atau
dilukai. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti
melukai orang lain dengan sengaja, membunuh orang lain, menganiaya, dan
memperkosa.
2.
Kekerasan tidak langsung (indirect
violent)
adalah suatu bentuk kekerasan yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain melalui sarana. Bentuk kekerasan ini
cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti mengekang, meniadakan atau
mengurangi hak-hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan
perbuatan-perbuatan lainnya. Misalnya terror bom yang dilakukan oleh para
teroris untuk mengintimidasi pemerintah supaya lebih waspada akan bahaya yang
dilakukan oleh pihak asing terhadap negara kita.
Sehubungan dengan tindak kekerasan
yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota
masyarakat yang lain, pada dasarnya di dalam diri manusia terdapat dua jenis
agresi (upaya bertahan), yaitu sebagai berikut.
1.
Desakan untuk melawan yang telah terprogram
secara filogenetik sewaktu
kepentingan
hayatinya terancam. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan hidup individu
yang bersifat adaptif biologis dan hanya muncul apabila ada niat jahat.
Misalnya si A melakukan pencurian karena adanya desakan kebutuhan ekonomi,
seperti makan.
2.
Agresi jahat melawan kekejaman, kekerasan, dan
kedestruktifan ini merupakan ciri manusia, di mana agresi tidak terprogram
secara filogenetik dan tidak bersifat adaptif biologis, tidak memiliki tujuan,
serta muncul begitu saja karena dorongan nafsu belaka. Misalnya aksi kerusuhan
yang dilakukan oleh para suporter sepak bola. Kamu telah belajar mengenai
konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Dalam konteks
sosial munculnya teori kekerasan dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu sebagai
berikut :
1. Situasi
sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang disebabkan oleh struktur
sosial tertentu.
2.
Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi
saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang
sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan,
tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan.
3.
Berkembangnya perasaan kebencian yang
meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan
faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu kekerasan.
4.
Mobilisasi untuk beraksi, yaitu
tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan
tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.
5. Kontrol
sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk
mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan.
Kekerasan Sosial
Kekerasan
sosial telah menimbulkan penderitaan dan mengundang masalah-masalah baru baik
dari korban, pelaku kekerasan, keluarga para pihak korban dan masyarakat secara
keseluruhan.
Ada
luka yang jika dibiarkan seolah-olah mongering dan sembuh, tetapi bila
tersentuh tak sengaja akan mudah terkorek dan terbuka kembali. Luka itu
kemudian menyimpan nanah menimbulkan rasa sakit dan dendam. Hal ini diakibatkan
karena kekerasan sosial terjadi dipicu oleh manusia sendiri sehingga syarat
dengan makna psikologis berupa kemarahan, kebencian dan dendam. Sehingga
dari sudut psikososial, dampak kekerasan sosial dapat menetap menjadi luka-luka
kejiwaan yang membutuhkan perhatian dan proses yang lama di dalam penyembuhannya.
Luka yang tidak ditangani dengan baik dan terus tertekan dalam waktu yang lama,
dapat memunculkan masalah yang lebih besar/kompleks dan dimanifestasikan dalam
bentuk tindakan-tindakan kasar dan kejam pada kelompok lain, dijadikan
pembenaran untuk menyingkirkan atau memusnahkan yang lain. Bahkan menjadi luka
warisan karena kedukaan yang dialami terus tersimpan dan diturunkan
secara turun temurun antar generasi (inberited grief), entahkah untuk
sekedar dikenang atau karena ada unsur mendenam.
Kekerasan
sosial telah menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat secara
menyeluruh. Sumber penghidupan hancur, situasi serba tidak menentu,
kemiskinan, mengubah perilaku dan gaya hidup para korban, juga membawa
perubahan-perubahan lainnya. Individu dan komunitas mengalami trauma dan
tekanan hidup secara bertubi-tubi bahkan telah membuat kelompok masyarakat
terisolasi satu dengan yang lainnya
Kekerasan sosial seolah
menjadi bahasa baru bagi pemerintah, pejabat publik, dan anggota dewan yang
senang memaksakan kehendaknya. Akibatnya, perilaku kekerasan dari hari ke hari
semakin mengeras di republik ini. Hal itu terlihat manakala kebijakan
pemerintah cenderung tidak berpihak pada masyarakat. Saat itulah pemerintah
dinilai melakukan kekerasan sosial terhadap rakyatnya. Pejabat publik dan
anggota dewan dengan semangat guyup rukun
memakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tabiat korupsi
semacam itu oleh warga masyarakat dikategorikan kekerasan sosial.
Sebelumnya, kekerasan sosial membekas
di sanubari rakyat Indonesia saat terjadi gerakan bersama menolak rencana
naiknya harga bensin. Demonstrasi berkobar di beberapa kota besar berakhir
ricuh. Pelaku kekerasan sosial menjalankan aksinya dengan menjebol pagar DPR RI
dan membakar apapun. Bentrokan pun terjadi antara petugas melawan peserta aksi
demo. Kekerasan sosial pun menemukan bentuknya secara sempurna. Kekerasan sosial menolak kenaikan
harga bensin dan kenekatan geng motor menarik perhatian para jurnalis warga.
Mereka mengabarkannya lewat media jejaring sosial. Akibat timeline Twitter dan
status Facebook yang dikirimkannya, warta kekerasan sosial semacam itu pun
menjadi trending topic di media jejaring sosial. Media massa cetak dan
elektronik pun tidak mau ketinggalan meliput acara yang mampu menyedot
perhatian jutaan warga.
Paparan di atas contoh fenomena
kekerasan sosial yang berkembang pesat di ruang publik, jejaring sosial dan
media massa. Belakangan ini oleh media televisi, kekerasan sosial diubah
maknanya menjadi barang komoditi yang laik jual. Kenapa hal itu terjadi? Karena
ada pemikiran apa pun bentuk kekerasannya, dijamin layak jual. Hal itu didukung
tabiat orang yang terlibat sebagai pelaku kekerasan sosial menjadi sangat
ekspresif dalam mengekspresikan ketidakpuasannya. Atas dasar itulah, beberapa stasiun
televisi swasta memosisikan diri sebagai ‘agen penjua’l kekerasan sosial.
Mereka membungkus kekerasan sosial menjadi sebuah komoditas yang laris
untuk dikomodifikasikan.
Bentuk konkret
komodifikasi kekerasan sosial yang disuguhkan media televisi
selalu ditandai dengan tayangan visual aneka kekerasan sosial secara detail dan
vulgar. Sang
kameramen akan menyorot siapa pun dan apa pun yang ditengarai menghasilkan
obyek dagangan bernama kekerasan sosial. Sedangkan sang reporter dengan suara terengah
mengabarkan apa yang dilihatnya. Deskripsi visual yang dideskripsikan sang
reporter terkadang tidak masuk akal. Kepiawaian dalam menyusun narasi sebagai
modal dasar mendeskripsikan sebuah realitas sosial yang dilihatnya pun
disampaikan secara dangkal.
Saat ini, tayangan kekerasan sosial di
televisi dengan amat gamblang, vulgar dan dramatis dapat disaksikan secara
gratis. Pesan verbal dan pesan visual dalam tayangan
komodifikasi kekerasan sosial terlihat hidup sehidup-hidupnya. Keberadaannya
mampu membangkitkan desakan emosi yang tidak mampu dikontrol tiap penonton. Di sisi lain,
atas nama kuasa rating, suasana yang dibangun dalam tayangan
komodifikasi kekerasan sosial adalah situasi yang dikesankan mencekam. Bangunan
suasana semacam ini sangat dibutuhkan oleh pengelola stasiun televisi untuk
menggapai kucuran dana iklan. Pada titik ini proses jual beli sah hukumnya.
Kekerasan Sosial dan
Dampaknya
Kekerasan sosial merupakan salah satu bentuk dari krisis-krisis
psikososial. Menurut Caplan, krisis dalam pengertian psikososial adalah
“suatu keadaan kebingungan emosional dari seorang individu/suatu unit sosial,
disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang menghambat mekanisme
pembelaan/pemeliharaan equilibrium psikologi yang ada”. Sedangkan Webster
menyebut krisis sebagai suatu “masa yang gawat/kritis sekali” dan “suatu titik
balik dalam sesuatu”. Istilah ini sering digunakan untuk suatu reaksi
dari dalam diri seseorang terhadap suatu bahaya dari luar. Biasanya
meliputi hilangnya kemampuan untuk mengatasi masalah selama sementara waktu,
dengan perkiraan bahwa gangguan fungsi emosi dapat kembali seperti semula,
sehingga jika seseorang dapat mengatasi ancaman itu secara efektif, maka ia
dapat kembali berfungsi seperti keadaan sebelum krisis. Bagi Mesach Krisetya,
“krisis adalah setiap peristiwa atau serangkaian keadaan yang mengancam suatu
kesejahteraan pribadi dan menganggu kehidupan rutin tiap harinya ; membuat
orang stress karena merubah kehidupan individu secara mendadak, sering
implikasinya berkepanjangan.” Krisis dapat dibagi ke dalam tiga jenis yaitu
:
1.
Krisis
yang tidak disengaja atau “SITUASIONAL”.
Krisis ini terjadi terutama saat ada ancaman yang datang tiba-tiba,
kejadian yang sangat mengganggu atau datangnya suatu musibah secara tak
terduga. Seperti : kematian orang yang dicintai secara mendadak, pegalaman
perkosaan, gangguan sosial berupa perang, kerusuhan, bencana alam dll.
2.
Krisis
‘DEVELOPMENTAL’.
Yaitu krisis yang terjadi seiring dengan perkembangan normal seseorang
dalam kehidupannya. Waktu seseorang mau bersekolah, akil balik remaja ke
pemuda, masuk ke perguruan tinggi, menyesuaikan diri dengan pernikahan dan
perannya sebagai orangtua, menghadapi pensiun dll.
3.
Krisis
‘EKSISTENSIAL’
Mempunyai pengertian tumpang tindih dengan pengertian kedua krisis di atas.
Ada saatnya dalam hidup dimana kita diperhadapkan dengan kenyataan yang
mengganggu, terutama tentang diri kita sendiri : saya seorang yang gagal,
saya tidak akan pernah sukses, saya sendirian, saya tidak mempunyai sesuatu
untuk dipercayai, hidupku tidak mempunyai tujuan dll. Kesadaran-kesadaran
seperti ini dan kenyataan-kenyataan lain yang serupa, memerlukan waktu yang
cukup lama dan usaha dari kita untuk dapat menerimanya.
Kesadaran-kesadaran itu adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam presepsi
diri dimana individu dapat menyangkalnya untuk sementara waktu namun pada suatu
saat individu juga harus menghadapinya secara realistis jika ingin tetap
meneruskan hidup dan memenuhi tuntutan-tuntutannya.
Dengan demikian jelas bahwa krisis para korban kekerasan sosial, termasuk
pada kelompok krisis situasional, karena pengalaman yang dialami merupakan
pengalaman yang sangat mengancam/tidak menyenangkan dan terjadinya secara tidak
diduga. Secara umum krisis dapat merupakan suatu masalah yang terlalu besar
atau hebat. Krisis dapat juga merupakan
masalah yang tidak serius bagi kebanyakan orang, tetapi untuk orang-orang
tertentu mempunyai arti khusus sehingga menjadi masalah yang hebat sekali
baginya. Dalam situasi yang tidak dapat ditanggulangi krisis menjadi suatu
beban yang dapat menjadikan orang tidak berdaya dan jika terus dibiarkan maka
dapat menimbulkan dampak yang buruk.
Dampak
Kekerasan Sosial
Kekerasan sosial telah menimbulkan dampak buruk mencakup aspek psikologis,
sosial teologis maupun fisik pada masyarakat yang mengalaminya. Seperti
kemarahan terhadap lingkungan yang telah menghancurkan masa depan hidup sang
korban, menimbulkan kebencian, kepahitan yang dalam, juga depresi.
Menjadi sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik dalam keluarga,
pekerjaan, gereja, maupun lingkungan sosial lainnya. Memiliki Konsep
yang keliru tentang pribadi Allah sehingga dapat menghambat pertumbuhan rohani
dan kedewasaan iman dan peka terhadap perkataan/nasihat-nasihat rohani atau
sikap orang lain. Mengalami gangguan kejiwaan yang dapat
menggejala secara badani sebagai gangguan tubuh, dimana reaksi fisik terhadap
perasaan gelisah biasanya berbentuk gangguan pencernaan, sakit kepala, gatal-gatal pada kulit, sakit pinggang dll.
No comments:
Post a Comment