Tuesday, February 23, 2016

Kekerasan Sosial di tinjau dari Aspek Budaya Bangsa -- Wulan Yuniati




Kekerasan Sosial Di Tinjau Dari Aspek Budaya Bangsa

Pengertian Kekerasan
Dalam masyarakat diusahakan agar konflik yang terjadi tidak berakhir dengan kekerasan. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu prasyarat, yaitu sebagai berikut.
1.      Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.
2.      Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin dapat dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
3.      Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu yang telah disepakati bersama. Aturan tersebut pada saatnya nanti akan menjamin keberlangsungan hidup kelompok-kelompok yang bertikai tersebut.

Apabila prasyarat di atas tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, maka besar kemungkinan konflik akan berubah menjadi kekerasan. Secara umum, kekerasan dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa seseorang atau dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Sementara itu, secara sosiologis, kekerasan dapat terjadi di saat individu atau kelompok yang melakukan interaksi sosial mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial ini akan terjadi tindakan-tindakan tidak rasional yang akan menimbulkan kerugian di pihak lain, namun dapat menguntungkan diri sendiri.

Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Sedangkan kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan barang, oleh karena orang dan barang tersebut termasuk dalam kategori sosial tertentu.
Bentuk-Bentuk Kekerasan
Dalam kehidupan nyata di masyarakat, kita dapat menjumpai berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain. Misalnya pembunuhan, penganiayaan, intimidasi, pemukulan, fitnah, pemerkosaan, dan lain-lain. Dari berbagai bentuk kekerasan itu sebenarnya dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung.
1.      Kekerasan langsung (direct violent) 
adalah suatu Bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung terhadap pihakpihak yang ingin dicederai atau dilukai. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti melukai orang lain dengan sengaja, membunuh orang lain, menganiaya, dan memperkosa.
2.      Kekerasan tidak langsung (indirect violent) 
adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain melalui sarana. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti mengekang, meniadakan atau mengurangi hak-hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan perbuatan-perbuatan lainnya. Misalnya terror bom yang dilakukan oleh para teroris untuk mengintimidasi pemerintah supaya lebih waspada akan bahaya yang dilakukan oleh pihak asing terhadap negara kita.

Sehubungan dengan tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain, pada dasarnya di dalam diri manusia terdapat dua jenis agresi (upaya bertahan), yaitu sebagai berikut.
1.      Desakan untuk melawan yang telah terprogram secara filogenetik sewaktu
kepentingan hayatinya terancam. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan hidup individu yang bersifat adaptif biologis dan hanya muncul apabila ada niat jahat. Misalnya si A melakukan pencurian karena adanya desakan kebutuhan ekonomi, seperti makan.
2.      Agresi jahat melawan kekejaman, kekerasan, dan kedestruktifan ini merupakan ciri manusia, di mana agresi tidak terprogram secara filogenetik dan tidak bersifat adaptif biologis, tidak memiliki tujuan, serta muncul begitu saja karena dorongan nafsu belaka. Misalnya aksi kerusuhan yang dilakukan oleh para suporter sepak bola. Kamu telah belajar mengenai konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Dalam konteks sosial munculnya teori kekerasan dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut :
1.      Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu.
2.      Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan.
3.      Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu kekerasan.
4.      Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.
5.      Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan.


Kekerasan Sosial
Kekerasan sosial telah menimbulkan penderitaan dan mengundang masalah-masalah baru baik dari korban, pelaku kekerasan, keluarga para pihak korban dan masyarakat secara keseluruhan. 
Ada luka yang jika dibiarkan seolah-olah mongering dan sembuh, tetapi bila tersentuh tak sengaja akan mudah terkorek dan terbuka kembali.  Luka itu kemudian menyimpan nanah menimbulkan rasa sakit dan dendam. Hal ini diakibatkan karena kekerasan sosial terjadi dipicu oleh manusia sendiri sehingga syarat dengan makna psikologis berupa kemarahan, kebencian dan dendam.  Sehingga dari sudut psikososial, dampak kekerasan sosial dapat menetap menjadi luka-luka kejiwaan yang membutuhkan perhatian dan proses yang lama di dalam penyembuhannya. Luka yang tidak ditangani dengan baik dan terus tertekan dalam waktu yang lama, dapat memunculkan masalah yang lebih besar/kompleks dan dimanifestasikan dalam bentuk tindakan-tindakan kasar dan kejam pada kelompok lain, dijadikan pembenaran untuk menyingkirkan atau memusnahkan yang lain. Bahkan menjadi luka warisan karena kedukaan yang dialami terus  tersimpan dan diturunkan secara turun temurun antar generasi (inberited grief), entahkah untuk sekedar dikenang atau karena ada unsur mendenam. 
Kekerasan sosial telah menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat secara menyeluruh.  Sumber penghidupan hancur, situasi serba tidak menentu, kemiskinan, mengubah perilaku dan gaya hidup para korban, juga membawa perubahan-perubahan lainnya. Individu dan komunitas mengalami trauma dan tekanan hidup secara bertubi-tubi bahkan telah membuat kelompok masyarakat terisolasi satu dengan yang lainnya
Kekerasan sosial seolah menjadi bahasa baru bagi pemerintah, pejabat publik, dan anggota dewan yang senang memaksakan kehendaknya. Akibatnya, perilaku kekerasan dari hari ke hari semakin mengeras di republik ini. Hal itu terlihat manakala kebijakan pemerintah cenderung tidak berpihak pada masyarakat. Saat itulah pemerintah dinilai melakukan kekerasan sosial terhadap rakyatnya. Pejabat publik dan anggota dewan dengan semangat guyup rukun memakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tabiat korupsi semacam itu oleh warga masyarakat dikategorikan kekerasan sosial.
Sebelumnya, kekerasan sosial membekas di sanubari rakyat Indonesia saat terjadi gerakan bersama menolak rencana naiknya harga bensin. Demonstrasi berkobar di beberapa kota besar berakhir ricuh. Pelaku kekerasan sosial menjalankan aksinya dengan menjebol pagar DPR RI dan membakar apapun. Bentrokan pun terjadi antara petugas melawan peserta aksi demo. Kekerasan sosial pun menemukan bentuknya secara sempurna. Kekerasan sosial menolak kenaikan harga bensin dan kenekatan geng motor menarik perhatian para jurnalis warga. Mereka mengabarkannya lewat media jejaring sosial. Akibat timeline Twitter dan status Facebook yang dikirimkannya, warta kekerasan sosial semacam itu pun menjadi trending topic di media jejaring sosial. Media massa cetak dan elektronik pun tidak mau ketinggalan meliput acara yang mampu menyedot perhatian jutaan warga.
Paparan di atas contoh fenomena kekerasan sosial yang berkembang pesat di ruang publik, jejaring sosial dan media massa. Belakangan ini oleh media televisi, kekerasan sosial diubah maknanya menjadi barang komoditi yang laik jual. Kenapa hal itu terjadi? Karena ada pemikiran apa pun bentuk kekerasannya, dijamin layak jual. Hal itu didukung tabiat orang yang terlibat  sebagai pelaku kekerasan sosial menjadi sangat ekspresif dalam mengekspresikan ketidakpuasannya. Atas dasar itulah, beberapa stasiun televisi swasta memosisikan diri sebagai ‘agen penjua’l kekerasan sosial. Mereka membungkus kekerasan sosial menjadi sebuah komoditas  yang laris untuk dikomodifikasikan.
Bentuk konkret komodifikasi kekerasan sosial yang disuguhkan media televisi selalu ditandai dengan tayangan visual aneka kekerasan sosial secara detail dan vulgar. Sang kameramen akan menyorot siapa pun dan apa pun yang ditengarai menghasilkan obyek dagangan bernama kekerasan sosial. Sedangkan sang reporter dengan suara terengah mengabarkan apa yang dilihatnya. Deskripsi visual yang dideskripsikan sang reporter terkadang tidak masuk akal. Kepiawaian dalam menyusun narasi sebagai modal dasar mendeskripsikan sebuah realitas sosial yang dilihatnya pun disampaikan secara dangkal.
Saat ini, tayangan kekerasan sosial di televisi dengan amat gamblang, vulgar dan dramatis dapat disaksikan secara gratis. Pesan verbal dan pesan visual dalam tayangan komodifikasi kekerasan sosial terlihat hidup sehidup-hidupnya. Keberadaannya mampu membangkitkan desakan emosi yang tidak mampu dikontrol tiap penonton. Di sisi lain, atas nama kuasa rating, suasana yang dibangun dalam tayangan komodifikasi kekerasan sosial adalah situasi yang dikesankan mencekam. Bangunan suasana semacam ini sangat dibutuhkan oleh pengelola stasiun televisi untuk menggapai kucuran dana iklan. Pada titik ini proses jual beli sah hukumnya.

Kekerasan Sosial dan Dampaknya
Kekerasan sosial merupakan salah satu bentuk dari krisis-krisis psikososial. Menurut Caplan, krisis dalam pengertian psikososial adalah “suatu keadaan kebingungan emosional dari seorang individu/suatu unit sosial, disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang menghambat mekanisme pembelaan/pemeliharaan equilibrium psikologi yang ada”.  Sedangkan Webster menyebut krisis sebagai suatu “masa yang gawat/kritis sekali” dan “suatu titik balik dalam sesuatu”.  Istilah ini sering digunakan untuk suatu reaksi dari dalam diri seseorang terhadap suatu bahaya dari luar.  Biasanya meliputi hilangnya kemampuan untuk mengatasi masalah selama sementara waktu, dengan perkiraan bahwa gangguan fungsi emosi dapat kembali seperti semula, sehingga jika seseorang dapat mengatasi ancaman itu secara efektif, maka ia dapat kembali berfungsi seperti keadaan sebelum krisis. Bagi Mesach Krisetya, “krisis adalah setiap peristiwa atau serangkaian keadaan yang mengancam suatu kesejahteraan pribadi dan menganggu kehidupan rutin tiap harinya ; membuat orang stress karena merubah kehidupan individu secara mendadak, sering implikasinya berkepanjangan.” Krisis dapat dibagi ke dalam tiga jenis yaitu :
1.      Krisis yang tidak disengaja atau “SITUASIONAL”.
Krisis ini terjadi terutama saat ada ancaman yang datang tiba-tiba, kejadian yang sangat mengganggu atau datangnya suatu musibah secara tak terduga. Seperti : kematian orang yang dicintai secara mendadak, pegalaman perkosaan, gangguan sosial berupa perang, kerusuhan, bencana alam dll.
2.      Krisis ‘DEVELOPMENTAL’. 
Yaitu krisis yang terjadi seiring dengan perkembangan normal seseorang dalam kehidupannya.  Waktu seseorang mau bersekolah, akil balik remaja ke pemuda, masuk ke perguruan tinggi, menyesuaikan diri dengan pernikahan dan perannya sebagai orangtua, menghadapi pensiun dll.


3.      Krisis ‘EKSISTENSIAL’  
Mempunyai pengertian tumpang tindih dengan pengertian kedua krisis di atas. Ada saatnya dalam hidup dimana kita diperhadapkan dengan kenyataan yang mengganggu, terutama tentang diri kita sendiri :  saya seorang yang gagal, saya tidak akan pernah sukses, saya sendirian, saya tidak mempunyai sesuatu untuk dipercayai, hidupku tidak mempunyai tujuan dll. Kesadaran-kesadaran seperti ini dan kenyataan-kenyataan lain yang serupa, memerlukan waktu yang cukup lama dan usaha dari kita untuk dapat menerimanya.  Kesadaran-kesadaran itu adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam presepsi diri dimana individu dapat menyangkalnya untuk sementara waktu namun pada suatu saat individu juga harus menghadapinya secara realistis jika ingin tetap meneruskan hidup dan memenuhi tuntutan-tuntutannya.

Dengan demikian jelas bahwa krisis para korban kekerasan sosial, termasuk pada kelompok krisis situasional, karena pengalaman yang dialami merupakan pengalaman yang sangat mengancam/tidak menyenangkan dan terjadinya secara tidak diduga. Secara umum krisis dapat merupakan suatu masalah yang terlalu besar atau hebat. Krisis dapat juga merupakan masalah yang tidak serius bagi kebanyakan orang, tetapi untuk orang-orang tertentu mempunyai arti khusus sehingga menjadi masalah yang hebat sekali baginya. Dalam situasi yang tidak dapat ditanggulangi krisis menjadi suatu beban yang dapat menjadikan orang tidak berdaya dan jika terus dibiarkan maka dapat menimbulkan dampak yang buruk.


Dampak Kekerasan Sosial
Kekerasan sosial telah menimbulkan dampak buruk mencakup aspek psikologis, sosial teologis maupun fisik pada masyarakat yang mengalaminya. Seperti kemarahan terhadap lingkungan yang telah menghancurkan masa depan hidup sang korban,   menimbulkan kebencian, kepahitan yang dalam, juga depresi. Menjadi sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik dalam keluarga, pekerjaan, gereja, maupun lingkungan sosial lainnya.  Memiliki Konsep yang keliru tentang pribadi Allah sehingga dapat menghambat pertumbuhan rohani dan kedewasaan iman dan peka terhadap perkataan/nasihat-nasihat rohani atau sikap orang lain.  Mengalami gangguan kejiwaan yang dapat menggejala secara badani sebagai gangguan tubuh, dimana reaksi fisik terhadap perasaan gelisah biasanya berbentuk gangguan pencernaan, sakit kepala,    gatal-gatal pada kulit,  sakit pinggang dll.  



No comments:

Post a Comment